KOBRA POST.
Ada berapa Gubernur Jenderal yang memerintah
Indonesia yang pada masa kolonial dikenal sebagai Hindia Belanda atau
Nederlandsche Indie itu? Sebenarnya Gubernur Jenderal yang kita kenal selama
ini adalah yang memerintah kawasan Hindia Belanda. Dari akhir keberadaan VOC
tahun 1800 sampai masa akhir pemerintahan Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van
Starkenborgh Stachouwer tahun 1942.
Jauh sebelumnya di masa VOC tercatat beberapa
Gubernur Jenderal, yang pertama adalah Pieter Both dari tahun
1609-1613. Di masa VOC juga ada beberapa nama Gubernur Jenderal yang tercatat
dalam sejarah nasional. Diantaranya Jan Pieterszoon Coen yang menjabat dua kali, walau tidak
berurutan, yaitu dari tahun 1619-1622
dan dari 1627 sampai tahun 1629.
Di masa VOC pula tercatat seorang Gubernur
Jenderal bernama Abraham van Riebeeck yang sangat menaruh perhatian kepada
kawasan Bogor melalui beberapa perjalanannya. Satu-satunya Gubernur Jenderal
yang juga dikenal peneliti, karena ekspedisi yang dilakukan pada tahun 1703,
1704 dan 1709.
Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya
dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai
Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Hal-hal yang
terpenting dalam kaitannya dengan Bogor adakah penemuan ciri-ciri keberadaan
lokasi dan data-data tentang Pakuan Pajajaran.
Di dalam perjalanan sejarah Bogor tidak ada yang
tidak mengenal nama seorang Gubernur Jenderal berdarah Jerman. Dialah Gustaav
Willem Baron van Imhoff. Dimana pada tanggal 2 Desember 1740 Dewan XVII mengangkat
van Imhoff sebagai Gubernur Jenderal menggantikan Adriaan Valckenier. Imhoff lah
yang yang mendirikan Akademi Maritim, dan Sekolah Latin di Batavia, Paleis te
Buitenzorg yang kini dikenal sebagai
Istana Bogor. Imhoff pula yang
melahirkan nama Buitenzorg dari sebuah villa peristirahatan, Istana kediaman
resmi Gubernur Jenderal sampai nama kawasan kota, Gemeente Buitenzorg.
Baron van Imhoff menjabat Gubernur Jenderal dari
tahun 1743 sampai 1750, kemudian digantikan Jacob Mossel selama sebelas tahun
dari 1750 sampai tahun 1761. Dari periode tahun 1800 sampai menjelang
pendudukan Jepang di Nusantara tahun 1942 tercatat ada 36 Gubernur Jenderal
Hindia Belanda yang membesarkan nama dan perkembangan Buitenzorg. Peran mereka
hingga saat ini masih memberikan andil besar yang tidak terhapus oleh zaman.
Diantaranya adalah predikat Bogor sebagai pusat penelitian tanaman tropis dan
ilmu pengetahuan.
Baca juga : Mengulik Asal Usul Nama Jasinga
Infrastruktur berupa jalan dan jembatan hingga saat ini masih berfungsi di Kota Bogor. Begitu pula kawasan dan bangunan yang kini telah menjadi Cagar Budaya sekaligus ikon Kota Bogor yang telah bersifat nasional seperti Istana dan Kebun Raya Bogor. Sebuah laboratorium yang dulu di gunakan penelitian biologi, botani dan ilmu pengetahuan lain oleh Prof. Dr. Melchior Treub, kini masih tetap lestari. Gedung yang bernama Treub Labolatory adalah saksi hidup kebesaran Buitenzorg, Kota Bogor kiwari.
Dari ke 36 Gubernur Jenderal yang telah tercatat
tersebut, tujuh diantaranya
yang turut andil dalam upaya membesakan Bogor. Mereka dengan tahun selama menjabat Gubernur Jenderal adalah :
1. Herman Willem Daendels (1808-1811)
2. Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
3. Godert Albert G. F. Baron van der Capellen
(1819-1826)
4. James Loudon ( 1872-1875)
5. Alexandre Willem F. Idenburg (1909-1916)
6. Johan Paul G. van Liburg Stirum (1916-1921)
7. Andries Cornelies D. de Graeff (1926-1931).
Itulah ketujuh Gubernur Jenderal tersebut yang telah memberi jasa kebesaran nama
Kota Bogor. Nama Gubernur
Jenderal Herman Willem Daendels tercatat dalam sejarah nasional sebagai
perancang dan pelaksana pembuatan Jalan Raya Pos. Jalan Raya yang di bangun awal
tahun 1809 itu membentang dari Anyer sampai Panarukan. Diantaranya melintas di
Kota Bogor dari Nanggewer, Jalan Ahmad Yani, Sudirman, Juanda, Suryakancana,
Tajur, Ciawi, Megamendung, terus lewat Puncak.
Walaupun pembuatan Groote Postweg atau Jalan
Raya Pos di Buitenzorg memakan korban di sekitar kawasan Megamendung. Namun
dampak dan manfaatnya di luar perkiraan si perancang jalan raya pos. Kenyataannya
ekonomi, perdagangan, jarak tempuh dari
pedalaman ke pusat perkotaan, dan komunikasi berkembang pesat.
Thomas Stamford Raffles adalah Gubernur Jenderal
penyelang dari kekuasaan pemerintah Kerajaan Belanda kepada Inggris. Masa
jabatan dari tahun 1811-1816, banyak dimanfaatkan untuk penataan pemerintahan
di Hindia Belanda. Raffles adalah penggagas pertama pembangunan Kebun Raya yang
saat itu kawasannya masih menyatu dengan Paleis te Buitenzorg.
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di bawah
Gubernur Jenderal van der Capellen (1816-1826), diresmikan pendirian 's Lands
Plantentuin te Buitenzorg atau Kebun Raya Bogor. Direktur pertama yang menjabat
adalah Dr. Caspar Georg C. Reinwardt seorang botanikus asal Jerman. Sebelumnya
Reiwardt mengirim surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia pada 15 April 1817 untuk meminta
sebidang tanah yang terletak di belakang kediaman Gubernur Jenderal. Kebun Raya
Bogor yang peletakkan batu pertamanya pada 18 Mei 1817 itu kini merupakan salah
satu Kebun Raya tertua di dunia.
Adalah James Loudon, Gubernur Jenderal ke 21 di
masa Hindia Belanda yang telah menetapkan batas-batas ibu kota afdeling
Buitenzorg. Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal
1 Mei 1871 ditetapkan sebagai berikut :
Ø sebelah utara : jalan dari
pilar-Jembatan Cipakancilan.
Ø sebelah barat : jembatan Cipakancilan hingga jembatan di jalan
kecil Batutulis.
Ø sebelah selatan : jalan kecil Batutulis
hingga jalan besar, yaitu jalan dan batas-batas persil Sukasari sampai
Ciliwung.
Ø sebelah timur : Sungai Ciliwung sampai
persilangan Pilar Putih.
Pengganti Frederick Idenburg adalah Mr Johan P.
G. van Limburg Stirum yang menjabat dari tahun 1916 sampai 1921. Di dalam
kaitannya dengan perkembangan Kota Bogor, Stirumlah yang meresmikan pembukaan
Gereja Zebaoth, yang berlokasi di halaman Istana.
Baca juga : Leuweung Samidha Cikal Bakal Kebun Raya Bogor
Gereja tersebut adalah pindahan gereja lama yang kini digunakan sebagai Kantor Pos. Dengan demikian, Kota Bogor memiliki dua gereja yang berdampingan di Jalan Juanda, jalan yang dikenal Postweg dimasa kolonial. Dua gereja tersebut adalah Gereja Zebaoth peruntukkan umat Kristen Protestan dan Gereja Cathedral untuk umat Kristen Katolik.
Menjelang akhir masa Hindia Belanda pada tahun
1942, tercatat ada empat Gubernur Jenderal, yaitu Mr Ditk Fock (1921-1926), Andries
Cornelis Dirck de Graeff (1926-1931), Bonifacius Cornelius de Jonge (1931-1936).
Sedangkan Gubernur Jenderal Mr. Jonkheer Tjarda
van Starkenborgh Stashouwer (1936-1942), tercatat sebagai Gubernur Jenderal
terakhir yang memerintah di Hindia Belanda. Untuk selanjutnya memasuki babak
baru di dalam perjalanan sejarah Nusantara, masa pendudukan Jepang.
Dari keempat Gubernur Jenderal tersebut satu diantaranya
yang memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan sejarah Kota
Bogor yaitu Gubernur Jenderal Mr. Andries C. Dirck de Graeff. Selama
masa jabatannya dari tahun 1926-1931, terjadi persoalan yang menyangkut gerakan
politik dan penangkapan tokoh tokoh nasionalis. Diantaranya Bung Karno yang
di tangkap dan di penjara di Sukamiskin.
Menjelang akhir masa jabatannya pada tahun 1931,
Graeff masih sempat menorehkan peristiwa besejarah. Pada tanggal 13 Juni 1931 proses penyusunan undang undang tentang
ordonansi monumen-monumen yang dikeluarkan di Cipanas, Cianjur, ditanda
tanganinya. Undang undang tersebut yang dalam bahasa Belanda berjudul Monumenten Ordonantie 1931, dengan Staatsblad
nomor 238 tahun 1931, disigkat OM Stb 238/1931. Undang-undang itu merupakan payung hukum pertama terhadap perlindungan benda cagar budaya di
Hindia Belanda.
Namun pada hakekatnya jiwa semangat memelihara,
merawat, menetapkan dan melestarikan benda dan kawasan cagar budaya adalah
cikal bakal Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Berdasarkan telaah singkat tentang peranan
Gubernur Jenderal pada masa Hindia. Khususnya untuk Kota Bogor, tidak hanya
menghasilkan dalam wujud benda seperti bangunan, kawasan dan infrastruktur. Namun juga dalam bentuk tertulis tentang hukum dan peraturan menata aspek fisik
kawasan perkotaan, kependudukan, kebudayaan termasuk artefak budaya dan
tinggalan masa lalu.
Penulis : Rachmat Iskandar