Bagian ke 1
KOBRA POST.
Kata atau
istilah Samidha bisa kita temukan di dalam Prasasti Batutuluis.
Tepatnya di baris ke tujuh dari sembilan baris inskripsi dari prasasti
tersebut. Kita masih beruntung dapat menyaksikan tinggalan dari masa
Pajajaran masih di lokasi semula atau in situ. Prasasti Batutulis adalah salah
satu situs yang menjadi tetenger Kota Bogor paling penting.
Di baris ke
tujuh tersebut bisa kita simak : 7. la, gugunungan ngabalay, nyiyan samida,
nyiyan sang hiyang talaga. Terjemahannya adalah : 7. (berupa) gunung gunungan,
memperkeras jalan, membuat Samida, membuat Sang Hiyang Talaga.
Walaupun
prasasti yang umumnya dibuat oleh raja atau seseorang bersangkutan, namun
Prasasti Batututulis dibuat oleh Surawisesa menggantikan sang ayahanda sebagai
raja dari 1521-1535. Prasasti dibuat tahun 1533 M tepat 12 tahun Sri Baduga
Maharaja wafat.Ia adalah putera pertama Sri Baduga Maharaja yang memerintah
pada 1482-1521.
Di dalam
prasasti tersebut diabadikan lima karya besar yang dibuat oleh Sri Baduga
Maharaja yaitu membuat parit untuk ketahanan keraton, membuat gugunungan,
memperkeras jalan dengan batu atau ngabalay, membuat hutan Samidha dan membuat
Telaga Rena Mahawijaya.
Dari kelima
karya besar tersebut kita bisa membuktikan melalui keadaan alam Kota Bogor
sekarang. Yang harus kita cari adalah keberadaan Hutan Samidha. Masih misterius
dimana letak dan lokasi hutan tersebut.
Karya karya
Sri Baduga Maharaja ada di antaranya yang masih bisa kita saksikan hingga saat
ini. Salah satu di antaranya adalah parit pertahanan yang hampir mengelilingi
setengah tepi lokasi keraton. Dari titik gerbang Pakuan yang terletak di
jembatan rel keteta api Bondongan sampai titik Stasiun Batutulis tegak
lurus ke kanan sampai ke Kawasan Paspampres Lawang Gintung. Adapun parit Pajajaran
berupa cerukan lahan untuk parit perlindungan keraton yang digunakan oleh rel
jalur Bogor-Sukabumi itu seolah-olah dilestarikan oleh Belanda. Lokasi dan
keberadaan gugunungan yang pernah dibuat Sang Raja Sunda Pajajaran berupa
kawasan kabuyutan bukit kecil berbentuk setengah lengkungan sempurna yang hingga
saat ini bentuk dasarnya bisa kita saksikan sebagai bukit Bad.
Telaga Rena
Mahawijaya yang lokasinya berdekatan dengan gugunungan atau bukit Badigul
hingga saat ini, baik lokasi maupun ciri-ciri alami dalam wujud sebuah telaga
masih dapat kita saksikan pula. Kawasan yang hingga kini berupa rawa rawa atau
lahan yang lembab tersebab mengandung air masih terasa kehadirannya. Itulah
sebabnya mengapa seorang tokoh pengusaha dan agama Buddha membangun vihara
dekat lokasi tersebut.
Ternyata dari
lima karya besar Sri Baduga Maharaja masih bisa dilacak keberadaannya. Tapak
dan tinggalan berupa babalay atau ngabalay sudah sulit dilacak di sekitar
kabuyutan Kawasan Batutulis, Lawangsaketeng dan Kawasan-kawasan lain yang
sekitar tahun enam puluhan masih mudah diidentifikasi.
Namun ada hal
yang menarik yang bisa kita saksikan di dalam Kawasan Kebun Raya Bogor. Lokasi
yang banyak ditumbuhi pohon paku, di tepi sungai Ciliwung dengan kontur tanah
yang berundak-undak. Keberadaan lahan semacam itu dapat dikategorikan sebagai
ciri-ciri kawasan kabuyutan, terlebih di kawasan tersebut dijumpai adanya mata
air yang tak pernah kering.
Setiap undakan
dibangun oleh stuktur batu yang ditata dengan rapi. Jalan kecil yang menuju ke
undakan juga dibentuk oleh bebatuan yang tertata dengan rapih pula. Tampaknya
sebuah ungkapan dari wujud babalay yang dibuat oleh Raja Pajajaran yang terukir
di dalam Prasasti Batutulis masih tersisa dan ditemukan di Kawasan kabuyutan
Kebun Raya Bogor.
Saleh
Danasasmita yang menulis Sejarah Bogor tahun 1983, juga menduga bahwa lahan
berundak dan jalan bebatuan di lokasi tersebut telah lama dikenal dan
dibuat sejak lama. Konsep ngabalay tak hanya dalam pembuatan jalan-jalan kecil
semacam gang, namun juga peruntukkan jalan lingkungan yang lebih lebar.
Di dalam Seminar Nasional Sastera dan Sejarah Pakuan Pajajaran yang
diselenggarakan oleh Universitas Pakuan Bogor dan Yayasan Pembangunan Jawa
Barat pada 11-13 Nopember 1991antara lain merumuskan bahwa :
Zaman keemasan
Pajajaran terjadi di masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja. Skala prioritas
pembangunannya adalah di bidang ekonomi dan pendidikan. Guna memakmurkan rakyat
Pajajaran ia membangun jalan krikil dari Banten sampai Pamanukan melalui Pakuan
dan Ciam.
Jika karya
besar Sri Baduga Maharaja seperti pembuatan parit, gugunungan, telaga Rena
Mahawijaya dan pembuatan ngabalay yang tapak lacaknya hingga saat ini masih
dikenali identitasnya, maka tinggal kita menggali keberadaan Samidha atau
pembuatan Hutan Samidha. Apakah berupa atau sejenis pohon, sebuah kawasan hutan
atau hanya simbolis dari salah satu kearifan lokal di dalam upaya melestarikan
kawasan hutan di Kerajaan Sunda?.
Aspek inilah
yang perlu kita kaji dan perlu penelahaan yang lebih mendalam dan kritis. Jika
Samidha adalah sebuah Kawasan Hutan, maka pertanyaan mendasar adalah di mana
lokasi yang tepat di Kota Bogor sekarang. Sebab saat Prabu Surawisesa membuat
prasasti yang isinya antara lain tentang kebesaran karya Sang Ayahanda
hanya menuliskan : membuat samidha.
Di dalam
sebuah catatan perjalanan ekspedisi Abraham van Riebeeck pada 15 Mei 1704, yang
kemudian dikutip oleh Saleh Danasasmita, bahwa :
"Nyiyan
sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida" (membuat tanda peringatan
berupa gunung-gunungan yang "dibalaynya" dijadikan hutan samida).
Dalam naskah Nagara Kertabumi disebut "wanagiri". Jadi : sebuah
gunung yang lerengnya dibuat bertingkat lalu dibuat jalur-jalur yang dikeraskan
dengan batu ("dibalay") kemudian ditanami kayu samida, sehingga
menjadi hutan buatan yang kayunya digunakan khusus untuk upacara,
terutama untuk pembakaran mayat. Kayu samida adalah kayu yang seperti
pinus mengandung terpentin sehingga mudah dibakar. (Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar